Menyebarkan revenge porn atau balas dendam dengan menyebarkan video porno, sungguh merusak emosi perempuan korban, kata pengamat.
Kasus video intim yang beredar viral di internet membuat warganet terus menerus menguliti sosok AH, perempuan yang sesungguhnya adalah korban.
Nama lengkap AH sejak 25 Agustus ramai diperbincangkan, tapi lain halnya dengan laki-laki teman dekatnya yang diduga penyebar video 'revenge porn' — istilah yang dipakai oleh beberapa warganet.
Setiap video yang beredar tanpa consent ya itu invasi privasi. Kalau rekaman seks beredar tanpa consent ya revenge porn, invasi hak personal— dhani (@arman_dhani) October 25, 2017
Revenge Porn: yang dicari, yang disalahin, yang dijadiin bulanan itu ceweknya. Cowoknya mah dianggap nggak ada— Spooky Steven (@chavalrous) October 26, 2017
Revenge porn adalah konten yg eksplisit scr seksual yg disebarkan ke khalayak tanpa persetujuan orang yg ada di konten tsb, bisa foto/video.— Kriminologi UI (@kriminologi_ui) October 26, 2017
Menurut dia, kasus semacam ini 'isunya agak unik', terjadi di banyak kasus ketika perempuan ditempatkan dalam posisi yang terintimidasi.
Dan, menurut penilaian Deputi Direktur Riset ELSAM ini, konteksnya saat ini adalah mendorong, juga memastikan, penegak hukum menempatkan perempuan dalam kasus ini sebagai korban.
''Korban pada mulanya consent (setuju) dengan tindakan itu (seks), tapi justru mengalami pelakuan begini (video diunggah tanpa izin). Efek dari kejahatan semacam ini, si perempuan akan mengalami yang dikatakan penyiksaan emosional. Dia akan mengalami tekanan terus-menerus yang akan berdampak secara psikis maupun fisik,'' kata dia.
''Itu tidak terjadi pada laki-laki.''
Sampai Jumat (27/10), nama lengkap korban sudah dikicaukan hingga lebih dari 13 ribu kali di Twitter dan menjadi bulan-bulanan di media sosial. Tidak demikian dengan nama teman laki-lakinya.
Memahami delik penyebaran
Lalu tindakan hukuman seperti apa yang seharusnya berlaku di kasus semacam ini? Wahyudi menilai kalaupun akan dikenakan hukuman maka fokusnya pada 'penyebar', bukan siapa 'yang terlibat di dalam video'.
Tapi, bukankah UU Pornografi, misalnya, ikut menjerat Ariel, penyanyi Noah yang juga pernah terjerat undang-undang ini?
''Itu dia, sebetulnya yang harus diingatkan dengan UU Pornografi itu adalah sepanjang memproduksi (video intim) untuk dirinya sendiri itu sebenarnya tidak dilarang. Sepanjang tidak disebarluaskan,'' ujar Wahyudi
Dalam kasus ini, Wahyudi menilai yang memiliki intensi menyebar video intim tersebut adalah pasangan AH.
''Meskipun akhirnya dalam kasus Ariel dia kena UU Pornografi dan yang menyebarkan kena UU Informasi dan Transaksi Elektronik, tapi ini posisinya perempuan. Dia berbeda.''
Pada kasus kejahatan siber terhadap perempuan, Wahyudi kembali menguraikan bahwa 'ada unsur ancaman yang menempatkan perempuan mengalami penyiksaan emosional' dan kasus semacam ini memang dipakai pelaku yang ingin 'menghancurkan reputasi' korban.
Sedangkan Arinta Dea Dini Singgi, analis gender LBH Masyarakat, menilai ada kekosongan peraturan untuk kasus semacam ini.
''Dan, kalau menggunakan UU yang ada misalnya UU ITE dan UU Pornografi, aturan itu tidak membedakan antara pelaku dan korban. Jadi semuanya dipukul rata,'' kata Arinta berpendapat senada.
''Jadi pukul rata, dalam kategori transmisi elektronik yang menerima dan mengirim bisa kena semuanya.''
Pelanggaran privasi
Menurut Arinta tidak ada yang salah dengan hubungan intim yang didasari kesepakatan bersama, lalu kemudian memutuskan untuk merekam kegiatan tersebut. ''Semua orang punya hak atas privasi mereka, untuk melakukan seks konsensual dan untuk merekam.''
Tapi, lanjut dia, problem muncul ketika salah satu pihak sengaja menyebar, melakukan pelanggaran privasi, dan 'lagi-lagi yang menjadi sorotan hanya perempuan'.
''Stigma di masyarakat, perempuan harus jadi perempuan baik-baik. Kalau misalnya dia melakukan seks di luar nikah dia perempuan nakal atau perempuan tidak benar dalam tanda kutip. Sedangkan kalau laki-laki melakukan seks di luar nikah dia macho atau dimaafkan karena namanya juga laki-laki.''
Menurut Arinta tidak ada yang salah dengan hubungan intim yang didasari kesepakatan bersama, lalu kemudian memutuskan untuk merekam kegiatan tersebut. ''Semua orang punya hak atas privasi mereka, untuk melakukan seks konsensual dan untuk merekam.''
Tapi, lanjut dia, problem muncul ketika salah satu pihak sengaja menyebar, melakukan pelanggaran privasi, dan 'lagi-lagi yang menjadi sorotan hanya perempuan'.
''Stigma di masyarakat, perempuan harus jadi perempuan baik-baik. Kalau misalnya dia melakukan seks di luar nikah dia perempuan nakal atau perempuan tidak benar dalam tanda kutip. Sedangkan kalau laki-laki melakukan seks di luar nikah dia macho atau dimaafkan karena namanya juga laki-laki.''
'
'Di Komnas Perempuan ada unit pengaduan relawan, mereka sering dapat pengaduan dari masyarakat. Mereka sering cerita kebingungan mesti gimana, karena tidak ada peraturan yang bisa melindungi korban,'' urai Arinta.
''Korbannya rentan dijerat UU Pornografi, walaupun kita masih bisa challenge itu.''
Gerakan untuk memberantas revenge porn dari internet sudah dimulai oleh perusahaan-perusahaan seperti Google yang berjanji mencegah konten semacam itu muncul dalam pencarian mesin pencari mereka, khususnya yang terkait dengan foto telanjang tanpa ada persetujuan.
Hal ini muncul dua bulan setelah hadir aturan baru di Inggris dimana revenge porn mulai dikategorikan sebagai kejahatan sejak April 2015.
Sedangkan menurut catatan ELSAM dari 35 kasus pelaporan pidana terhadap perempuan yang mereka rekam, mayoritas adalah kasus penghinaan (83%), penyebaran kebencian (8%), kesusilaan (6%), dan ancaman (3%).
'Di Komnas Perempuan ada unit pengaduan relawan, mereka sering dapat pengaduan dari masyarakat. Mereka sering cerita kebingungan mesti gimana, karena tidak ada peraturan yang bisa melindungi korban,'' urai Arinta.
''Korbannya rentan dijerat UU Pornografi, walaupun kita masih bisa challenge itu.''
Gerakan untuk memberantas revenge porn dari internet sudah dimulai oleh perusahaan-perusahaan seperti Google yang berjanji mencegah konten semacam itu muncul dalam pencarian mesin pencari mereka, khususnya yang terkait dengan foto telanjang tanpa ada persetujuan.
Hal ini muncul dua bulan setelah hadir aturan baru di Inggris dimana revenge porn mulai dikategorikan sebagai kejahatan sejak April 2015.
Sedangkan menurut catatan ELSAM dari 35 kasus pelaporan pidana terhadap perempuan yang mereka rekam, mayoritas adalah kasus penghinaan (83%), penyebaran kebencian (8%), kesusilaan (6%), dan ancaman (3%).
Apa Sanksi bagi Pembuat dan Penyebar Konten Pornografi ?
Jawaban :
A. Asumsi
Untuk memperjelas diskusi ini, maka asumsi yang perlu diambil ialah:
1. yang dimaksud “membuat foto atau video porno untuk dinikmati sendiri” ialah foto atau rekaman video hubungan seksual antara pria dan wanita itu sendiri.
2. Pria dan wanita tidak termasuk dalam kategori anak sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan.
B. Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi
Berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”); dan
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU 44/2008”)
Dalam Bab – XIV KUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga dengan UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dari ketiga undang-undang yang dimaksud, UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini.
Secara teoritis-normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut Pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
C. Pembuatan Pornografi
Dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video seksual mareka dan foto serta video tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian dalam Pasal 44/2008 maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pornografi.
Dalam hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau pria pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.
D. Diseminasi atau Distribusi Pornografi
Untuk memperjelas diskusi ini, maka asumsi yang perlu diambil ialah:
1. yang dimaksud “membuat foto atau video porno untuk dinikmati sendiri” ialah foto atau rekaman video hubungan seksual antara pria dan wanita itu sendiri.
2. Pria dan wanita tidak termasuk dalam kategori anak sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan.
B. Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi
Berbicara mengenai pornografi, telah ada beberapa undang-undang yang mengatur substansi yang dimaksud, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”); dan
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU 44/2008”)
Dalam Bab – XIV KUHP diatur tentang Kejahatan terhadap Kesusilaan, tetapi tidak diatur mengenai definisi kesusilaan. Demikian juga dengan UU ITE. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur larangan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dari ketiga undang-undang yang dimaksud, UU 44/2008 lebih jelas memberikan definisi mengenai Pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, definisi tersebut dapat diterapkan dalam diskusi ini.
Secara teoritis-normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut Pornografi apabila foto atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 mengatur larangan perbuatan memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak
Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008 tentang Pornografi disebutkan bahwa yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
C. Pembuatan Pornografi
Dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video seksual mareka dan foto serta video tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian dalam Pasal 44/2008 maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 UU Pornografi.
Dalam hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau pria pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.
D. Diseminasi atau Distribusi Pornografi
Dalam hal pembuatan foto atau video disetujui oleh para pihak maka penyebaran oleh salah satu pihak dapat membuat pihak lain terjerat ketentuan pidana, sepanjang pihak itu tidak secara tegas memberikan larangan untuk penyebarannya.
Sebagai contoh apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman Pornografi, kemudian pria menyebarkan Pornografi, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap Pornografi tersebut maka wanita dapat terjerat tindak pidana penyebaran Pornografi.
Apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkan Pornografi tersebut maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta penyebaran pornografi.
Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video Pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan Pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita tersebut dapat disebut sebagai korban penyebaran konten Pornografi.
E. Penyimpanan Produk Pornografi
Pasal 6 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang..., memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Menimbulkan pertanyaan apakah video atau foto Porno tersebut yang dibuat oleh pria dan wanita juga dilarang?
Salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut.
1. Dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu maka penyimpanan atau pemilikan Pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008.
Secara teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang.
2. Apabila dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.
F. Memfasilitasi Pornografi
Pasal 7 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Apakah tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada wanita atau pria dalam pembuatan pornografi termasuk memfasilitasi Pornografi?
Interpretasi yang mungkin ialah bahwa sepanjang wanita atau pria yang telah memberikan persetujuanitu terlibat di dalam foto atau video pornografi tersebut maka, ia tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan Pornografi.
G. Penyebaran Pornografi
Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Sebagai contoh apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan foto atau rekaman Pornografi, kemudian pria menyebarkan Pornografi, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap Pornografi tersebut maka wanita dapat terjerat tindak pidana penyebaran Pornografi.
Apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkan Pornografi tersebut maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta penyebaran pornografi.
Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video Pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan Pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita tersebut dapat disebut sebagai korban penyebaran konten Pornografi.
E. Penyimpanan Produk Pornografi
Pasal 6 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang..., memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Menimbulkan pertanyaan apakah video atau foto Porno tersebut yang dibuat oleh pria dan wanita juga dilarang?
Salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut.
1. Dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu maka penyimpanan atau pemilikan Pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU 44/2008.
Secara teknis, umumnya, setelah video atau foto dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau pemilikan dilarang.
2. Apabila dalam hal salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU 44/2008.
F. Memfasilitasi Pornografi
Pasal 7 UU 44/2008 mengatur bahwa setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Apakah tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada wanita atau pria dalam pembuatan pornografi termasuk memfasilitasi Pornografi?
Interpretasi yang mungkin ialah bahwa sepanjang wanita atau pria yang telah memberikan persetujuanitu terlibat di dalam foto atau video pornografi tersebut maka, ia tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan Pornografi.
G. Penyebaran Pornografi
Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur:
“Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.”
Ancaman pidana terhadap pelanggar diatur dalam Pasal 45 ayat (1) UU ITE, yaitu ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak 1 (satu) milliar rupiah.
Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menyebutkan:
“Setiap orang dilarang..., membuat,...menyebarluaskan... Pornografi...”
Ancaman terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008 yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta rupiah dan paling banyak Rp 6 miliar rupiah.
Dengan demikian, dalam kasus atau permasalahan yang rekan tanyakan, rekan dapat menerapkan sebagian atau keseluruhan pasal-pasal terkait aspek pembuatan, distribusi, penyimanan, fasilitas, dan/atau penyebaran konten pornografi sebagaimana kami uraikan di atas.
Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi menyebutkan:
“Setiap orang dilarang..., membuat,...menyebarluaskan... Pornografi...”
Ancaman terhadap pasal ini diatur dalam Pasal 29 UU 44/2008 yaitu pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250 juta rupiah dan paling banyak Rp 6 miliar rupiah.
Dengan demikian, dalam kasus atau permasalahan yang rekan tanyakan, rekan dapat menerapkan sebagian atau keseluruhan pasal-pasal terkait aspek pembuatan, distribusi, penyimanan, fasilitas, dan/atau penyebaran konten pornografi sebagaimana kami uraikan di atas.
Demikian pendapat kami, terima kasih.
Catatan:
Semua informasi atau pertanyaan serta pendapat yang diberikan dalam forum ini merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi yang diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, dan bukan merupakan pendapat hukum yang mengikat siapapun, serta bukan pendapat resmi dari instansi apapun. Pendapat ini ditujukan untuk membuka wacana dalam mengembangkan konsep atau pemahaman hukum terkait penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang memiliki kesamaan kondisi atau yang ingin menggunakan pendapat atau informasi ini harus mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan penasehat hukumnya.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Catatan:
Semua informasi atau pertanyaan serta pendapat yang diberikan dalam forum ini merupakan bentuk dari kebebasan berekspresi yang diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, dan bukan merupakan pendapat hukum yang mengikat siapapun, serta bukan pendapat resmi dari instansi apapun. Pendapat ini ditujukan untuk membuka wacana dalam mengembangkan konsep atau pemahaman hukum terkait penerapan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap orang yang memiliki kesamaan kondisi atau yang ingin menggunakan pendapat atau informasi ini harus mengkonsultasikannya terlebih dahulu dengan penasehat hukumnya.
Dasar Hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan
3. Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.