Masuk Islam Demi KTP
Hutan di Provinsi Jambi, Sumatera, adalah rumah Orang Rimba atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam. Kepercayaan mereka dan cara hidup mereka yang nomaden tidak diakui negara. Kini, ketika hutan mereka dihabisi untuk membuka perkebunan kelapa sawit, banyak di antara mereka yang dipaksa memeluk agama Islam demi bertahan hidup.
Di sebuah rumah panggung, sekelompok anak berbaju putih duduk di lantai yang terbuat dari kayu. Dengan kompak, mereka melantunkan syair "Cinta Islam, Cinta Islam, sampai saya mati" dan memekikkan kalimat "Tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad Rasul Allah".
Dari luar rumah, seorang ibu berteriak memanggil putranya. Dia menyuruh si bocah untuk memakai baju dan bergabung dengan teman-temannya yang menyanyi. Kecuali tali ketapel yang digunakan untuk berburu burung, si bocah bertelanjang bulat.
Beberapa bulan lalu sebanyak 58 keluarga dari Suku Celitai pindah agama untuk memeluk Islam.
Mereka dijemput menggunakan bus menuju ke Kota Jambi dan diberikan baju, sajadah, dan kerudung bagi kaum perempuan.ront Pembela Islam atau FPI memfasilitasi proses tersebut.
Sebelumnya percaya pada roh-roh
"Ini adalah proses, tidak terjadi hanya dalam semalam," kata Ustad Reyhan dari kelompok Islam, Hidayatullah.
"Kini kami berfokus pada anak-anak, lebih mudah bagi mereka untuk berpindah agama. Pikiran mereka tidak dipenuhi banyak hal. Tapi, yang susah adalah orang-orang dewasa."
"Tapi mereka tidak ada di sini selamanya. Seberapa panjang sih umur manusia? Maksimal 60 atau 70 tahun," ujarnya dengan ceria.
"Sebelum berpindah ke Islam, mereka percaya pada roh-roh, dewa dan dewi, tapi bukan Allah Yang Maha Esa. Mereka tidak tahu pencipta kita. Ketika seseorang meninggal dunia, mereka tidak menguburkannya. Mereka hanya meninggalkan jenazah di hutan. Kini hidup mereka punya makna dan tujuan," papar Ustad Reyhan.
Tapi, apakah sebelumnya hidup mereka tidak punya tujuan? Tanya saya.
"Bagaimana mereka punya tujuan, mereka hidup di hutan. Mereka hanya menjalani hari demi hari, momen demi momen. Saat mereka meninggal, mereka meninggal begitu saja. Tapi kini mereka punya agama, mereka tahu ada akhirat."Kebutuhan bertahan hidup
Namun, kepala desa Orang Rimba, Muhammad Yusuf, atau dulu dikenal dengan nama Yuguk, tidak memikirkan akhirat saat memutuskan memeluk agama Islam. Keputusannya lebih didasari oleh kebutuhan bertahan hidup.
"Keputusannya saat itu sangat berat dan sulit, namun kami merasa tidak punya pilihan jika kami ingin maju," ujarnya, bisik-bisik.
"Ini kami lakukan agar anak-anak kami punya kesempatan yang sama seperti orang luar, orang terang. Kami tidak punya pilihan lain, tiada jalan lagi, kami semua harus berpindah ke Islam."
Orang Rimba menjuluki masyarakat luar sebagai 'orang terang' karena hidup di ruang terbuka, bukan di bawah pepohonan rimbun seperti mereka.
Populasi Orang Rimba sendiri tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan sebanyak 3.000 Orang Rimba hidup di Provinsi Jambi.
"Jika ibu dulu datang ke sini, ibu akan melihat hutan kami yang elok dengan pohon-pohon besar," kata Yusuf.
Sembari berbincang, kami menyusuri sisa-sisa hutan Orang Rimba. Pada satu sisi, tumpukan pohon yang telah dibakar dan berubah menjadi abu putih, sedang sisi lainnya barisan pohon kelapa sawit yang berjajar rapi. Ketiadaan bunyi-bunyian satwa, entah itu burung atau kawanan monyet, terasa begitu janggal.
"Semuanya habis, terjadi hanya dalam beberapa tahun terakhir. Perkebunan sawit muncul dan kemudian hutan mulai terbakar."
Yusuf menceritakan kebakaran dua tahun lalu yang melalap hutan dan kawasan gambut seluas 21.000 kilometer persegi—setara dengan 30 kali luas Singapura.
Sebanyak setengah juta orang terdampak asap beracun dari kebakaran dan puluhan orang meninggal dunia akibat penyakit menyangkut pernapasan.
"Saya takut, kami semua merasa sangat ngeri pada api dan asap di sekeliling kami."
Guna menghindari api, dia dan sebagian besar anggota sukunya kabur ke desa terdekat. Lainnya lari jauh ke dalam hutan di taman nasional.
Di desa tempat mereka berlindung itulah, proses masuk agama Islam dimulai.
"Setelah beberapa lama, kami ingin mengirim anak-anak kami ke sekolah, tapi guru di sekolah ingin melihat akta kelahiran mereka. Untuk memperoleh akta kelahiran harus ada akta perkawinan dan untuk mendapat akta perkawinan harus memeluk agama yang diakui negara."
"Kami lalu mengadakan pertemuan suku dan membahas agama apa yang kami pilih. Kami lalu memutuskan memilih Islam," jelas Yusuf.
Indonesia hanya mengakui enam agama secara resmi, yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, serta Konghucu.Dalam kartu tanda penduduk dan kartu keluarga, setiap warga negara harus mencantumkan salah satu dari enam agama tersebut di kolom agama.
Baru pada 7 November 2017, Mahkamah Konstitusi memutuskan penghayat kepercayaan bisa mencantumkan kepercayaan mereka pada kolom agama KTP dan KK.
Penghayat kepercayaan mengalami kesulitan mendapatkan akta perkawinan, akta kelahiran, dan dokumen-dokumen lainnya.
Para pegiat kini berjuang agar parlemen mengubah Undang-Undang Administrasi Kependudukan tahun 2013.

Belum menjadi manusia
Rukka Sombolinggi, selaku sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), merupakan salah satu tokoh pegiat yang memperjuangkan hak para penghayat kepercayaan.
"Kami sudah ada di sini sebelum agama baru tiba di Indonesia. Namun, sekarang mereka seperti menguasai kami dan ingin membasmi kami dari negara ini. Kami harus melawan," ujarnya.
Orang Rimba, kata Rukka, merupakan salah satu suku asli Indonesia yang rawan punah dan sangat menderita."Mereka telah sampai pada titik keputusasaan dan mereka melihat bahwa memeluk salah satu agama yang diakui negara mungkin akan menolong mereka keluar dari situasi yang sangat, sangat buruk. Ini masalah bertahan hidup."
Masyarakat di Sumatera yang mayoritas muslim menjuluki Orang Rimba, Kubu.
"Itu artinya mereka sangat kotor, mereka sampah, bahkan jangan dilihat karena terlalu jijik. Kubu juga bisa bermakna primitif, bodoh, bau busuk. Pada dasarnya belum menjadi manusia, evolusinya belum sempurna," papar Butet Manurung, antropolog yang telah tinggal bersama Orang Rimba selama bertahun-tahun.

Tiada tempat hidup
Saya menangkap kesan bahwa Orang Rimba didiskriminasi tatkala saya bertolak menuju permukiman mereka—tempat mereka mempraktikkan budaya nomaden dan kepercayaan terhadap dewa-dewi.
Kami singgah sejenak di sebuah desa untuk beristirahat dan makan sebelum masuk hutan.
Hanya dalam beberapa menit, dua kendaraan berhenti di dekat kami. Dari dalam muncul seorang polisi dan pegawai negeri dari pemerintah daerah setempat. Mereka menanyakan tujuan kami dan izin masuk hutan.Mijak, pemandu kami yang merupakan Orang Rimba, bangkit berdiri dan terlihat kesal. Dia bertanya kepada kedua petugas itu mengapa kami perlu izin masuk ke ranah Orang Rimba.
"Kami tidak punya tempat hidup. Kami selalu disebut orang nomaden, tanpa agama, tanpa budaya. Kami tidak dihormati," kata Mijak kepada saya sembari menatap ke arah kedua petugas.

"Agama kami, kepercayaan kami tidak dihormati. Pemerintah selalu berkeras agar kami pindah agama dan hidup di rumah permanen di satu tempat. Kami tidak bisa melakukan itu, cara hidup kami tidak seperti itu."Polisi dan PNS itu terlihat tersinggung, namun Mijak melanjutkan perkataannya.
"Mengapa kalian membuat hidup kami begitu susah?"Kedua figur itu tidak terpengaruh dengan pernyataan Mijak dan tetap meminta surat-surat imigrasi."Kami perlu mengawasi mereka," kata salah seorang polisi.
"Mereka tidak paham konsep mencuri. Mereka bilang buah itu tumbuh dengan sendirinya di pohon jadi bisa diambil. Tapi itu kan ditanam oleh seseorang. Mungkin kepercayaan mereka begitu, tapi hal demikian tidak baik di masyarakat kita."

Masalah babi
Petugas itu juga mengatakan bahwa Orang Rimba menciptakan ketegangan dengan memburu dan menyantap babi hutan.
"Ini adalah komunitas Muslim. Jika warga melihat darah babi atau sisa bangkai babi ditinggal berserakan, warga akan merasa terganggu," ujarnya.
Pandangan sang petugas adalah cerminan kontradiksi Orang Rimba dengan umat Muslim, jelas Butet Manurung.
"Orang Rimba tidak memakan hewan ternak, seperti ayam, sapi, atau kambing. Mereka menganggap itu adalah bentuk pengkhianatan. Anda memberi makan hewan, tapi ketika hewan itu gemuk, Anda memakannya. Yang adil adalah bertarung. Siapapun yang menang dapat menyantap yang kalah."
Benturan kebudayaan semacam itu mengemuka pada 1980-an ketika Presiden Soeharto memberikan lahan kepada para transmigran dari Pulau Jawa dan perusahaan-perusahaan.
Sejak saat itu, area hutan yang menjadi rumah Orang Rimba, kian terbuka. Sejalan dengan langkah tersebut, perkebunan kelapa sawit, karet, dan kayu produksi leluasa merambah hutan tanpa berunding atau memberi kompensasi kepada penduduk asli.

Zulkarnain, seorang pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang membantu memfasilitasi perpindahan agama Suku Celitai, mengaku saat masih kanak-kanak mengira Orang Rimba bukan manusia.
"Suatu hari anak Kubu mencuri buah dari salah satu tetangga saya dan tetangga saya itu menembaknya. Kami menghampiri jasadnya dan saya sadar dia bukan sejenis hewan, dia manusia, seperti kita."
"Saya sadar kita harus membantu mereka. Saya kasihan pada mereka, mereka akan kelaparan kalau mereka tidak berubah."
'Kepala terasa berputar...'
Dalam 20 tahun terakhir, jutaan hektare lahan hutan telah dibuka di Indonesia. Beberapa kajian menyebutnya sebagai deforestasi tercepat di dunia.
Adapun luas perkebunan kelapa sawit telah meningkat antara 300.000 sampai 500.000 hektare per tahun selama 10 tahun terakhir.
Semasa saya hidup, selama 30-an tahun, lebih dari setengah hutan-hutan di Sumatra menghilang dan digantikan perkebunan kelapa sawit.

Keluarga Sigungang adalah salah satu keluarga yang hidup di tengah perkebunan kelapa sawit. Dia berupaya memburu babi hutan saat hewan itu muncul.
"Namun jika kami tidak bisa menemukan apa-apa, kami terpaksa makan buah kelapa sawit. Kepala terasa berputar dan hampir membunuh anak-anak yang makan minyak kelapa sawit," ujar Sigungang.
Perkebunan kelapa sawit penuh dengan pestisida dan keluarganya mengalami sakit perut karena minum air di perkebunan.
"Tidak ada hutan bagi mereka untuk berburu. Sungai tempat mereka memancing dan minum sudah terpolusi dan begitu pula udaranya. Jadi kami memberikan mereka rumah, desa untuk hidup," kata Menteri Sosial, Khofifah Indar Parawansa.
Berkaitan dengan itu, pemerintah telah bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan perkebunan untuk membangun sejumlah unit rumah untuk Orang Rimba.

Tahun lalu, Presiden Joko Widodo meresmikan kawasan permukiman dan lahan untuk Orang Rimba setelah bertemu dengan tetua suku. Pertemuan semacam itu adalah yang pertama dilakukan seorang presiden Indonesia.
Bagian yang tak kalah pentingnya dari proses tersebut, menurut Khofifah, adalah agama.
"Pada KTP, mereka harus menyatakan agama yang mereka anut. Ada yang menjadi Muslim, ada pula yang menjadi Kristen. Jadi kini mereka mengenal Tuhan."
'Kami ingin hutan, bukan rumah'
Bagaimanapun, rumah-rumah untuk Orang Rimba itu kini telah ditinggalkan dan berubah menjadi kota hantu.
Tanpa ada sumber nafkah untuk keluarga mereka, Orang Rimba yang sempat tinggal di rumah permanen kembali bermukim di hutan.

"Yang kami inginkan dari mereka adalah berhenti mengambil hutan kami. Kami tidak ingin rumah seperti orang luar," kata Ngantap, salah satu tetua suku Makekal Hulu.
"Saya damai dan bahagia di hutan, saya adalah penghuni hutan," tambahnya.
Saya merasakan damai yang disebut Ngantap saat berjalan di tengah hutan Orang Rimba. Daun-daun dari pepohonan seolah membentuk tembok hijau, akar-akar saling membelit pohon-pohon besar, dan suara siamang yang sahut-menyahut jelas terdengar.
Kawasan ini adalah hutan adat suku Makekal Hulu, tempat banyak pohon dikeramatkan.

Kami berhenti di depan sebuah pohon kedondong yang besar. Pandangan Ngantap mengarah ke atas pohon.
"Ini adalah salah satu pohon keramat yang paling kami lindungi. Siapapun yang menebang pohon ini akan dicari dan dihukum."
Saat bersama saya, Ngantap memakai cawat khas Orang Rimba dan sekantong rokok terikat di pinggang.
Di antara kami terdapat perempuan belum menikah yang memakai kain sarung untuk menutupi payudara. Begitu menikah kain itu akan diikatkan di pinggang dan membiarkan payudara terbuka agar mudah menyusui bayi. Namun, kini banyak pula yang memakai kaus.

Ngantap mengatakan mereka akan berpegang teguh pada kepercayaan leluhur.
"Salah bila mengatakan kami tidak beriman. Iman, agama, adalah hak pribadi setiap manusia. Sangat salah menjelekkan kepercayaan seseorang."
Soal kepercayaan, Butet Manurung yang tinggal bertahun-tahun bersama Orang Rimba menjelaskan.
"Orang Rimba menyembah banyak dewa. Harimau adalah salah satu yang terkuat," kata Butet.
"Mereka punya dewa lebah, dewa burung rangkong, lalu ada dewa dan dewi dari berbagai pohon. Mereka juga menyembah dewa mata air. Mereka meyakini bahwa sungai jangan diperlakukan buruk. Mereka tidak pernah pergi ke WC atau menaruh sabun di sungai supaya orang bisa minum langsung dari sungai," tutur Butet.

Ngerung, istri Ngantap, menjelaskan keterkaitan Orang Rimba dengan pohon.
"Setelah seorang bayi dilahirkan, tiga pohon harus ditanam. Satu untuk tali pusar, satu untuk si bayi, dan satu untuk namanya. Pohon-pohon itu tidak boleh ditebang atau dilukai," kata Ngerung, seorang perempuan Orang Rimba yang memiliki 11 anak.
"Ada seorang dukun yang akan mencari nama yang cocok untuk bayi dan bagian dari pohon itu akan dibalurkan ke kepala si bayi," timpal Ngantap.
Ngantap mewanti-wanti banyak pohon keramat di hutan dan tidak boleh dilukai.
"Jika kami kehilangan hutan, kami kehilangan cara hidup, budaya kami. Dewa-dewa kami akan hancur. Padahal, dewa-dewa yang melindungi perempuan dan anak-anak. Dukun-dukun akan kehilangan kekuatan mereka, sebaliknya penghancuran dan bencana akan berkuasa."
Berpindah agama
Mijak, pemandu saya, berpindah ke agama Islam—sebuah keputusan yang menurutnya diambil agar bisa bepergian dan berjuang melindungi hutan leluhur.
Orang Rimba berusaha mendaftarkan hutan mereka sebagai tanah ulayat menyusul putusan Mahkamah Konstitusi pada 2013. Melalui putusan itu, hutan adat dapat dikelola oleh masyarakat adat yang menempatinya selama berabad-abad.

Sebagai dampak dari keputusannya berpindah agama, Mijak dapat ikut ambil bagian dalam pertemuan suku tapi tidak dilibatkan dalam ritual kepercayaan.
Bahkan, karena Mijak kini menggunakan sabun untuk mandi serta makan sapi dan ayam, dia tidak bisa masuk rumah keluarga.
"Selalu ada pengorbanan yang harus dilakukan. Saat saya dididik dengan cara orang luar, ada banyak hal yang harus saya korbankan."
"Namun saya menerimanya karena saya adalah pembawa pesan dan jembatan bagi banyak orang di sini dengan dunia luar, dengan pemerintah mengenai hutan dan hak kami."
Meski demikian, Mijak masih takut dengan dewa dan dewi Orang Rimba setiap kali dia ke hutan.
"Orang-orang suci, dukun perempuan, merekalah yang saya takutkan dan kami hormati. Mereka bisa berkomunikasi dan melihat dewa-dewi."
"Dukun bisa berubah menjadi harimau, bisa berubah menjadi gajah jika dewa-dewa sangat marah dan menyerang manusia. Saya takut itu, saya khawatir melanggar aturan."
Di atas semua ketakutannya, kengerian terbesar Mijak adalah cara hidup Orang Rimba akan punah.

Kehidupan baru
Muhammad Yusuf, kepala suku Celitai dari Orang Rimba yang telah menganut agama Islam, mengaku kehidupannya berubah dalam hitungan bulan.
Dia telah secara resmi memperistri tiga orang. Hamida, istri ketiga Yusuf, mengatakan kondisinya sangat berbeda.

"Sangat, sangat berbeda dalam hal kebersihan, apa yang kami makan, anak saya bisa sekolah, dan mereka bisa membaca Al-Quran. Sekarang, alhamdullilah kami bisa menyantap makanan halal."
Hamida sekarang memakai jilbab dan sering menggunakan kalimat Arab saat berbicara.
Apakah ada yang Anda rindukan dari kehidupan lama di hutan dan mendengar nyanyian burung? Tanya saya.
"Tidak. Alhamdullilah tiada yang kami rindukan (dari kehidupan lama), sekarang sangat berbeda, saya bahagia dengan kehidupan baru."
Saya bertanya lagi, apakah sama sekali tidak ada budaya Orang Rimba yang ingin Anda wariskan ke anak-anak? Mungkin bagaimana Orang Rimba menjaga kebersihan sungai dan melindungi hutan?
Dia tampak khawatir salah bicara dan menatap ke arah suaminya untuk mencari persetujuan. Yusuf mengangguk.
Istri pertama Yusuf mengambil alih pembicaraan. "Tiada yang kami rindukan. Sangat melelahkan berpindah terus di hutan. Tapi, ya, saya akan mengajar anak-anak untuk tidak membuang sampah di sungai."
Selagi kami menyantap mie instan, istri pertama Yusuf berkelakar bahwa mereka dulu hidup berpindah-pindah di hutan, kini giliran Yusuf yang setiap malam berpindah-pindah antara rumah istri pertama, kedua, dan ketiga