Tercatat saat ini ada 10 anggota Polri yang sudah mengajukan surat pengunduran diri untuk ikut pilkada. Kendati demikian, belum ada pernyataan resmi dari institusi bahwa mereka sudah tidak lagi menjabat anggota Polri.
Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian mengatakan, anggota Polri yang gagal menjadi calon kepala daerah dalam kontestasi pilkada diperbolehkan kembali ke instansi Polri.
Dengan demikian, menurut Tito, anggota Polri yang tidak lolos jadi peserta pilkada bisa melanjutkan tugasnya sebagai polisi.
“Kalau penetapan dia gagal dan mereka ingin terus mengabdikan diri di Polri, tidak ada larangan menerima mereka,” kata Tito di kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Senin (15/1/2018).
“Kalau seandainya mereka ingin tetap keluar dari Polri, kami juga akan fasilitasi. Enggak ada larangan,” lanjutnya.
Tito memastikan bahwa anggota yang ditetapkan sebagai peserta pilkada akan melepas status di kepolisian dimulai setelah ketetapan KPU pada 12 Februari 2018.
Saat ini, anggota Polri yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah tidak lagi memegang jabatan struktural.
Kapolri telah melakukan mutasi serentak kepada 10 anggotanya yang ikut pilkada dan statusnya saat ini nonjob.
Namun, pernyataan Tito yang membuka pintu bagi anggotanya yang tidak lolos untuk kembali menuai kritik.
Netralitas Polri pun dipertanyakan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, pernyataan Tito bisa menjadi pintu masuk bagi keterlibatan Polri dalam politik praktis.
Menurut dia, personel Polri yang sudah mendaftar, meski tidak lolos, secara nyata telah melakukan politik praktis.
Dia khawatir, apabila kebijakan Tito tersebut dilaksanakan, akan sangat rentan bagi netralitas dan profesionelisme Polri di pilkada.
“Calon dari Polri yang gagal menjadi peserta bisa saja menggunakan kekuasaan yang ada padanya untuk bertindak tidak profesional terhadap lawan politik atau pihak-pihak yang dianggap tidak meloloskannya sebagai peserta,” katanya.
Celah pada UU Pilkada
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, menilai, ada celah pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang tidak secara tegas mengatur status anggota kepolisian yang ikut pilkada.
Jika mengacu pada Pasal 7 Ayat 2 UU Pilkada, memang tidak disebutkan jelas bahwa bakal calon tersebut sudah harus lepas dari institusi asal.
Pasal tersebut berbunyi, “calon peserta pilkada harus menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pegawai negeri sipil serta kepala desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta pemilihan”.
Dengan demikian, anggota TNI Polri akan resmi mundur jika sudah dinyatakan lolos sebagai calon kepala daerah.
Sementara itu, dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri yang diperkuat dengan Peraturan Kapolri Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pencalonan Anggota Polri dalam Pemilukada menyatakan bahwa bakal calon tersebut harus mengundurkan diri sebagai anggota Polri karena ingin menggunakan hak politiknya.
“Celah di UU Pilkada inilah yang menjadi masalah,” kata Poengky.
Menurut Poengky, meski menjalankan aturan sesuai UU Pilkada, tidak boleh mengabaikan keberadaan UU Polri.
Ia mengatakan, anggota tersebut semestinya tetap mundur dari kepolisian walaupun gagal jadi peserta pilkada.
“Saya berharap agar anggota Polri yang dicalonkan parpol dalam Pilkada 2018 berpegang teguh pada UU Polri,” kata Poengky.
Ia pun mengusulkan agar UU Pilkada, khususnya Pasal 7 yang mengatur soal pengunduran diri, direvisi.
[post_ads]Tidak etis
Poengky menganggap, jika sudah mendeklarasikan diri menjadi bakal calon peserta pilkada, anggota tersebut dianggap sudah berpolitik.
Memang dalam undang-undang tidak ada larangan untuk kembali ke institusi, tetapi dari sisi etis, hal tersebut dianggap tidak pantas.
“Jadi, tidak etis jika balik lagi ke Polri apabila yang bersangkutan tidak lolos verifikasi pencalonan oleh KPUD,” kata Poengky.
Hal senada disampaikan pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar. Bambang menilai, tidak etis jika anggota polisi yang tidak lolos dalam mengikuti seleksi sebagai calon kepala daerah kemudian kembali lagi sebagai polisi.
Ia kembali menegaskan, UU Polri menyatakan bahwa anggota kepolisian tidak boleh melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis.
Selain itu, dalam Pasal 23, ada sumpah jabatan anggota Polri dalam menjalankan tugas.
“Jika kedua pasal itu dilanggar, harus ada sanksinya. Itulah risikonya,” kata Bambang.
Kebijakan Kapolri dikhawatirkan akan menjadi preseden ke depan. Tidak hanya oleh Polri, tetapi juga instansi lain, seperti TNI yang sama-sama menjunjung tinggi netralitas.
“Maka, harus ikuti aturan pokok yang sudah ditentukan,” kata Bambang.
Dinilai tak paham aturan
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta mengkhawatirkan pernyataan Tito tersebut tidak didasarkan pada pengetahuan mengenai aturan dan regulasi personel Polri yang hendak menggunakan hak politiknya sebagai warga negara.
“Melalui pernyataan ini, saya khawatir Kapolri membuat pernyataan yang tidak didukung oleh dasar-dasar regulasi,” ujar Kaka saat ditemui di salah satu hotel di bilangan Setiabudi, Jakarta Selatan, Senin (15/1/2018).
Sebab, Kaka menjelaskan, dalam Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI dengan tegas menyebutkan, “Kepolisian Negara RI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.”
Penjelasannya, “yang dimaksud dengan bersikap netral adalah bahwa anggota Kepolisian Negara RI bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan dan dilarang menjadi anggota dan atau pengurus di partai politik.”
Ayat (2) pasal yang sama menyebutkan, “Anggota Kepolisian Negara RI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih”.
Adapun, Ayat (3) pasal yang sama juga menyebutkan, “Anggota Kepolisian Negara RI dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
Artinya, menurut Kaka, seorang anggota Polri seharusnya mengundurkan diri terlebih dahulu saat hendak terjun ke proses politik menuju pencalonan kepala daerah. Selain itu, ia tidak dapat kembali lagi ke institusinya jika gagal dalam proses pilkada.
“Ya makanya kita harus saling mengingatkanlah bahwa memang ini tidak sesuai dengan aturan. Apalagi ini yang ngomong seorang penegak hukum, bukan masyarakat biasa. Setiap kebijakan dan pernyataannya harus mencerminkan kepastian hukum. Jangan separuh-separuh,” ujar Kaka.
“Tapi kalau memang benar begitu, ini perlu dikaji bersama-sama. Ini mengundang diskusi banyak pihak, apakah ini memang secara normatif bisa dilakukan atau tidak,” kata dia.