Overdosis bukanlah satu-satunya penyebab kematian mereka yang masih muda dan meninggal akibat penyalahgunaan metamfetamina atau sabu-sabu.
Penggunaan metamfetamina diasosiasikan dengan berbagai kondisi permasalahan kesehatan baik fisik maupun mental. Termasuk penyakit jantung, strok, bahkan kecenderungan untuk bunuh diri.
Saat ada orang yang meninggal karena mengonsumsi sabu-sabu, banyak yang berpikir penyebabnya adalah keracunan obat dan overdosis. Namun, sebuah penelitian di Australia mengungkap hal lain.
Saat ada orang yang meninggal karena mengonsumsi sabu-sabu, banyak yang berpikir penyebabnya adalah keracunan obat dan overdosis. Namun, sebuah penelitian di Australia mengungkap hal lain.
Penelitian yang dipublikasikan secara daring dalam Journal of Neurology Neurosurgery & Psychiatry ini menganalisis banyak kasus kematian pengguna metamfetamina di Australia.
Tim yang terdiri dari Dr Julia Lappin, Profesor Shane Darke dan Profesor Michael Farrell mengamati kasus kematian dalam kurun waktu 2009 hingga 2015, dan menemukan penyebab kematian karena faktor selain overdosis. Bukan hanya satu dua kasus, tapi dalam proporsi yang cukup besar.
Prof Drake dan tim riset menemukan dari 1.649 kematian yang terekam datanya, 43 persen disebabkan karena keracunan obat dan overdosis. Sebanyak 22 persen, disebabkan oleh penyakit yang ternyata berhubungan dengan penyalahgunaan metamfetamina, terutama penyakit jantung.
Sebagai agen kardiotoksik, metamfetamin merusak otot jantung, menyebabkan penyakit arteri dan menyebabkan ketegangan pada sistem kardiovaskular. Para peneliti juga menemukan sejumlah kasus strok di kalangan kaum muda, kelompok demografis yang tidak biasanya masuk kelompok berisiko terhadap masalah kesehatan ini.
Lappin dan tim menganalisis 77 studi yang menyelisik hubungan antara konsumsi metamfetamina dan risiko strok pada orang berusia di bawah 45 tahun. Mereka mengidentifikasi 98 kasus strok, 81 di antaranya disebabkan oleh perdarahan pada otak, dan 17 lainnya disebabkan karena iskemia atau ketidakcukupan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh.
Strok yang disebabkan karena pendarahan dalam otak, bukan iskemia, adalah tipe strok yang paling umum dikaitkan dengan konsumsi stimulan yang dikenal dengan berbagai nama ini. Ada yang menyebutnya metamfetamina, meth, sabu-sabu, juga speed atau ice di barat.
"Ini bisa terjadi dalam hitungan jam setelah konsumsi, setelah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun," jelas Dr Lappin. Ketidakpastian waktu tak mengurangi dampak. Strok dapat merenggut nyawa seseorang, atau membuatnya cacat permanen.
Selain itu, ada pula 300 kasus kematian akibat bunuh diri. Metode yang digunakan untuk melakukan aksi menghabisi nyawa sendiri ini cenderung penuh kekerasan. Menurut para peneliti, ini mungkin berhubungan dengan kejengkelan, agresi dan kecenderungan kekerasan yang dipicu oleh metamfetamina.
Dalam 15 persen kasus, kematian disebabkan oleh cedera traumatis, kebanyakan terjadi saat kecelakaan kendaraan bermotor. Biasanya, pengguna metamfetamina cenderung yakin bahwa sabu-sabu yang mereka konsumsi meningkatkan kemampuan mengemudi, padahal faktanya justru risiko cedera dan kematian lah yang meningkat.
Darke dan tim melaporkan bahwa jejak yang ditinggalkan dari konsumsi metamfetamina jauh lebih banyak daripada banyak jenis obat-obatan lain. Dan hampir separuh dari kasus kematian terjadi di daerah pedalaman dan daerah.
Banyak pengguna metamfetamina yang berstatus pekerja, dan belum pernah mengonsumsi narkoba. Ciri-ciri ini bertentangan dengan tipe orang yang diyakini meninggal akibat penyalahgunaan obat-obatan.
"Dengan mengamati penyebab di balik kasus-kasus kematian ini, kami telah mengungkap bahwa, berbeda dengan obat-obatan terlarang lain, cakupan bahaya metamfetamina sangat luas, terutama berkaitan dengan hubungan ekstensif dengan penyakit jantung," papar Prof Darke.
Oleh sebab itu Darke menyatakan bahwa pusat rehabilitasi narkoba perlu lebih waspada terhadap pasien pecandu metamfetamina. Pasalnya mereka mungkin punya risiko penyakit jantung.
Terlepas dari apakah seseorang pasien pusat rehabilitasi narkoba atau bukan, para dokter perlu menanyakan pasien muda--di bawah 45 tahun--yang memperlihatkan tanda-tanda masalah pada jantung, apakah mereka pengguna metamfetamina.
Kaum muda pengguna metamfetamina juga perlu mewaspadai munculnya gejala awal strok. Beberapa orang mengalami sakit kepala, kesulitan bicara dan memahami bahasa, juga masalah penglihatan yang awalnya bersifat sementara namun bisa jadi tanda-tanda strok telah melanda.
"Tanpa meningkatkan kewaspadaan akan hubungan antara penggunaan metamfetamina dan serangan atau penyakit jantung lain, bisa-bisa kita harus menghadapi kenaikan jumlah kasus semacam ini dalam beberapa tahun mendatang," Darke mengingatkan.
Tim yang terdiri dari Dr Julia Lappin, Profesor Shane Darke dan Profesor Michael Farrell mengamati kasus kematian dalam kurun waktu 2009 hingga 2015, dan menemukan penyebab kematian karena faktor selain overdosis. Bukan hanya satu dua kasus, tapi dalam proporsi yang cukup besar.
Prof Drake dan tim riset menemukan dari 1.649 kematian yang terekam datanya, 43 persen disebabkan karena keracunan obat dan overdosis. Sebanyak 22 persen, disebabkan oleh penyakit yang ternyata berhubungan dengan penyalahgunaan metamfetamina, terutama penyakit jantung.
Sebagai agen kardiotoksik, metamfetamin merusak otot jantung, menyebabkan penyakit arteri dan menyebabkan ketegangan pada sistem kardiovaskular. Para peneliti juga menemukan sejumlah kasus strok di kalangan kaum muda, kelompok demografis yang tidak biasanya masuk kelompok berisiko terhadap masalah kesehatan ini.
Lappin dan tim menganalisis 77 studi yang menyelisik hubungan antara konsumsi metamfetamina dan risiko strok pada orang berusia di bawah 45 tahun. Mereka mengidentifikasi 98 kasus strok, 81 di antaranya disebabkan oleh perdarahan pada otak, dan 17 lainnya disebabkan karena iskemia atau ketidakcukupan suplai darah ke jaringan atau organ tubuh.
Strok yang disebabkan karena pendarahan dalam otak, bukan iskemia, adalah tipe strok yang paling umum dikaitkan dengan konsumsi stimulan yang dikenal dengan berbagai nama ini. Ada yang menyebutnya metamfetamina, meth, sabu-sabu, juga speed atau ice di barat.
"Ini bisa terjadi dalam hitungan jam setelah konsumsi, setelah berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun," jelas Dr Lappin. Ketidakpastian waktu tak mengurangi dampak. Strok dapat merenggut nyawa seseorang, atau membuatnya cacat permanen.
Selain itu, ada pula 300 kasus kematian akibat bunuh diri. Metode yang digunakan untuk melakukan aksi menghabisi nyawa sendiri ini cenderung penuh kekerasan. Menurut para peneliti, ini mungkin berhubungan dengan kejengkelan, agresi dan kecenderungan kekerasan yang dipicu oleh metamfetamina.
Dalam 15 persen kasus, kematian disebabkan oleh cedera traumatis, kebanyakan terjadi saat kecelakaan kendaraan bermotor. Biasanya, pengguna metamfetamina cenderung yakin bahwa sabu-sabu yang mereka konsumsi meningkatkan kemampuan mengemudi, padahal faktanya justru risiko cedera dan kematian lah yang meningkat.
Darke dan tim melaporkan bahwa jejak yang ditinggalkan dari konsumsi metamfetamina jauh lebih banyak daripada banyak jenis obat-obatan lain. Dan hampir separuh dari kasus kematian terjadi di daerah pedalaman dan daerah.
Banyak pengguna metamfetamina yang berstatus pekerja, dan belum pernah mengonsumsi narkoba. Ciri-ciri ini bertentangan dengan tipe orang yang diyakini meninggal akibat penyalahgunaan obat-obatan.
"Dengan mengamati penyebab di balik kasus-kasus kematian ini, kami telah mengungkap bahwa, berbeda dengan obat-obatan terlarang lain, cakupan bahaya metamfetamina sangat luas, terutama berkaitan dengan hubungan ekstensif dengan penyakit jantung," papar Prof Darke.
Oleh sebab itu Darke menyatakan bahwa pusat rehabilitasi narkoba perlu lebih waspada terhadap pasien pecandu metamfetamina. Pasalnya mereka mungkin punya risiko penyakit jantung.
Terlepas dari apakah seseorang pasien pusat rehabilitasi narkoba atau bukan, para dokter perlu menanyakan pasien muda--di bawah 45 tahun--yang memperlihatkan tanda-tanda masalah pada jantung, apakah mereka pengguna metamfetamina.
Kaum muda pengguna metamfetamina juga perlu mewaspadai munculnya gejala awal strok. Beberapa orang mengalami sakit kepala, kesulitan bicara dan memahami bahasa, juga masalah penglihatan yang awalnya bersifat sementara namun bisa jadi tanda-tanda strok telah melanda.
"Tanpa meningkatkan kewaspadaan akan hubungan antara penggunaan metamfetamina dan serangan atau penyakit jantung lain, bisa-bisa kita harus menghadapi kenaikan jumlah kasus semacam ini dalam beberapa tahun mendatang," Darke mengingatkan.